Translate

Kamis, 07 Maret 2013

Kartoesoewirjo "Kewajiban Umat Islam Dalam Menghadapi Dunia Baru

 Ini ialah Tulisan dari S.M Kartosoewirjo, Imam Negara Islam Indonesia

Sejak mula manusia dilahirkan oleh Allah di dunia, maka sejak itu pula tumbuhlah hubungan ikat-mengikat antara dia dengan ‘alam mumkin sekelilingnya. Maka ‘alam itu menjadi sebab dan jembatan, menjadi syarat perjalanan dan lapang hidup, melakukan pelbagai perjuangan menentukan nasibnya, di kelak kemudian hari.
‘Alam syahadah sekeliling manusia dan dirinya pribadi itu, sepanjang faham setengahnya kaum ‘Ulama dan Hukama, dinamakan “dunia”.
“Dunia” yang menjadi syarat hidup dan “dunia” yang menjadi bekal mati.
Syahdan, seorang anak (bayi) lahir di dunia menghadapi ibunya, yang menyusui dan memelihara dia, dengan kasih-sayangnya. Menghadapi ayah, yang mencintai dia dan bertanggung jawab atas didikan dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak itu. Ketemu dengan kakek-nenek, paman-bibi dan sanak kerabat lainnya. Wal hasil, sejak itulah ia dihidupkan Allah di tengan-tengah “dunia” kecil, dalam lingkungan keluarga kecil, di kalangan rumah tangga ibu ayahnya.
Jika di anak dipanjangkan umurnya, maka dengan berkat karunia Ilahy dan pemeliharaan ibu-ayah yang mencintainya itu, si bayi makin lama makin besar dan subur daan terpisah dari susu ibunya. Ia dimasukan sekolah, madrasah atau pesantren, menghadapi guru atau kiayi, yang memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya sehari-harinya. Dalam pada si anak bersekolah atau “mesantren” itu, dengan karena tabi’at ‘alam yang terkandung dalam dirinya, maka ia perlu kepada ‘alam yang lebih luas dan perlu pula kawan yang lebih banyak. Pada masa itu ia hidup dalam lingkungan “dunia” kanak-kanak, hidup dalam kalangan keluarga yang agak besar.
Selanjutnya, jika ia keluar dari bangku sekolah atau “pesantren”, lepas dari thalab ‘ilmu di berbagai-bagai taman pendidikan dan pelajaran, dan bilamana dengan Kehendak Allah ia mencapai umur dewasa, maka sampailah ia kepada tingkat “baligh” atau “mukallaf”.
Ialah tingkat manusia, yang menuntut pertanggung jawaban atas perjalanan dirinya pribadi dan ‘alam sekelilingnya. Tingkat manusia, yang mendorong dia terjun dalam lingkungan yang keluarga yang besar dan mulai belajar hidup dalam “dunia” pergaulan hidup bersamanya, bertolak dari pelabuhan tempat berteduh dan mengarungi lautan hidup yang amat luas dan dalam itu.
Karena bawaan (chilqah) dirinya, ia perlu hidup bersuami isteri, perlu menghubungkan tali ikatan rumah tangganya dengan rumah tangga lainnya, perlu hidup dalam pergaulan (sosial) dan dalam pencarian rizki (ekonomi). Maka pelajaran hidup yang mula pertama ini menghendaki ketabahan hati, kesabaran, keinsyafan, kebulatan niat dan keuletan bekerja, karena pertanggung jawab yang penuh-penuh atas keselamatan bersama.
Maka keluarga yang lebih besar, yang merupakan masyarakat itu, bertambah hari makin bertambah meluas. Dari rumah tangga sendiri menjadi dukuh dan kampung, dari kampung menjadi desa (Ku), dari desa menjadi Son, Gun, Ken dan Sjuu sampai akhirnya menjadi Djawa Baroe. Maka keluarga se-Djawa Baroe itu pun hanya merupakan salah satu bagian kecil dalam lingkungan keluarga se-Asia Timoer Raya.
Oleh sebab itu, dengan karena kedudukan dan tempat tinggal, dengan karena peredaran zaman dan pembaruan masyarakat, maka mau tidak mau tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan menjadi salah satu anggota dari Keluarga Besar, Keluarga Asia Tomoer Raya.
Bandingkan dengan ajaran Islam, yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19 !
Maka karena ikatan Keluarga Besar itu, tiap-tiap bagiannya (yang kecil ataupun yang besar) harus merasa wajib ikut bekerja, membantu dan menyokong dengan sepenuh-penuhnya keyakinan dan kesadaran, dalam usaha mengejar dan mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Kema’muran, yang sanggup menyelamatkan 1.000 juta jiwa manusia, dalam tiap-tiap lapisan dan keperluannya.
Apakah gerangan kewajiban kita? Agaknya orang menanya.
Maka jawabnya ialah : kewajiban yang terutama bagi Umat Islam, yang juga menjadi bagian Keluarga Besar itu : ” Menyokong dan membantu usaha dalam mengikhtiarkan tercapainya Kema’muran Bersama, disampingnya dan bersama-sama dengan bagian-bagian Kelurga yang lainnya”.
Tetapi……. sokongan dan bantuan itu tidak “cuma” merupakan cerita yang menggelora atau dongeng yang mendahsyatkan dan mengharukan, dan tidak pula cukup dengan “suara halilintar yang menyambar-nyambar”. Melainkan harus berwujudkan ‘amal yang nyata, ‘amal yang berharga, ‘amal yang hanya diperuntukan bagi keperluan diri pribadi atau golongan sendiri saja. Maka pada prakteknya agak sukarlah membedakan dan memisahkan kedua macam ‘amal itu. Lantaran tidak jarang kita dapat menyaksikan, orang mengejar “keperluan sendiri” dengan berselimutkan “keperluan umum”. Sekarang rupanya bukan lagi waktunya, untuk mempertontonkan “permainan tonil dunia” yang serupa itu, yang hanya mendidik sifat dan tabiat “munafik” semata-mata.
Kiranya baik juga, satu-dua tamsil diketengahkan, unutk membandingkan wujud dan sifatnya ‘amal yang boleh dan yang tidak boleh menjadi sokongan dan bantuan.
Tamsil 1. Si A dan Si B. berkawan, berjalan bersama-sama dan menuju satu maksud yang sama. Si A adalah seorang yang kuat, tangkas dan berani, sedang Si B adalah seorang yang lemah dan malas usaha lagi penakut. Apa akibatnya? Maksudnya mungkin sampai, usaha mungkin putus di tengah jalan, karena sifat B yang menghambat dan mencegah tercapainya maksud itu.
Tamsil 2. Si A ingin bekerja bersama-sama dengan Si B. Tapi si A adalah yang lumpuh, tiada berdaya dan kemauannya pun amat lembek sehingga seumur hidupnya ia cuma menjadi “sampah masyarakat”. Walaupun si B besar himmahnya dan bersungguh-sungguh dalam ‘amal perbuatannya, disertai pula dengan tulus dan setia hati yang penuh, tetapi adanya si A, disamping si B itu tidak pula menambah besar dan pesatnya perjalanan dan mungkin menjauhkan maksud yang dituju.
Maka adanya si A tersebut tidaklah sekali-kali menyokong dan membantu tercapainya maksud, melainkan sebaliknya.
Hatta, maka dengan gambaran ringkas di atas cukuplah kiranya bagi kita, bahwa niat dan usaha Umat Islam untuk memberi sokongan dan bantuan dalam ikhtiar mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya itu, harus dan wajiblah merupakan ‘amal yang berharga dan yang diharapkan oleh tiap-tiap bagian Keluarga Besar itu.
Oleh sebab itu, maka pada hemat kita pada zaman panca-roba ini Umat Islam tidak boleh sekali-kali lemah-hati, putus asa atau mengurangkan usaha. Malah sebaliknya, harus dan wajiblah Umat Islam berdiri tegak teguh di belakang garis peperangan yang dahsyat ini, dan membangunkan suatu “Benteng Islam” yang kuat lagi sentausa, dlohir dan bathinm keluar maupun ke dalam.
Sebab, bila Umat Islam masih juga merupakan “bangkai yang hidup” atau “sampah masyarakat”, atau sesuatu yang tidak tentu bentuk, sifat dan wujudnya, laksana “terapung tak hanyut, terendam tak basah” janganlah diharapkan yang Umat Islam akan memperoleh penghargaan siapa pun juga.
Sekaranglah waktunya Umat Islam menentukan nasibnya buat Hari Kemudian !
“Jika kayu ia timbul, jika batu ia tenggelam !!!”
Cukuplah tidur nyenyak lebih dari 300 tahun lamanya – lebih dari tidur Ashabul Kahfi – dibawah selimut Fir’aun-Belanda,  yang pandai menyanyikan lagu “nina bobo” itu !.
Tumpahkanlah tenaga, fikiran dan harta kita untuk membimbing dan membentuk “Benteng Islam” itu! Satu “Benteng” yang diperdirikan atas dasar ikhlas dan suci hati, dan tersimpan rapat dalam tiap-tiap hati Mu’min dan Muslim! Satu “Benteng” yang mengikat dan mengeratkan tali persaudaraan (musabahah dan ukhuwwah) antara tiap-tiap bagian dan lapisan seluruh penduduk Asia Timoer Raya! Satu “Benteng” yang dibentuk oleh tiap-tiap hamba Allah, yang ingin Muhabbah dan Taqarub kepada Azza wa Djalla semata-mata!.
Jika Umat Islam sudah sadar, insaf dan tahu sungguh-sungguh melakukan kewajibanya dalam Agama, Insya Allah nasib Umat Islam tidak akan memalukan dan memilukan hati, dan akan dapat menjadikan kekuatan dan ‘amal perbuatan  yang berharga dan membentuk “Dunia Baru”, “Dunia Bahagia” yang mengandung “Kema’muran Bersama”.
Tahukah kita, bahwa Dunia yang kita injak dan kita hadapi ini menjadi “Jembatan dan Jalan” menuju “Darul Akhirah” kelak?
Sadarkah kita, bahwa ‘amal yang diperbuat semasa hidup di Dunia akan menjadi “Mizan Nasib” nanti di Yaum al Hisab?
Insafkah kita, bahwa perbuatan kita yang baik (Ihsan) selagi hidup di Dunia menjadi pertanggungan yang istimewa, bagi mencapai Kemuliaan dan Bahagia, bila telah tiba masanya kita dimasukan dalam “Alam di balik Qubur” ?
Yakinkah kita, bahwa Iman yang teguh serta Tauhid yang sentausa dan Islam yang sempurna (‘amal salih) akan merupakan kunci yang membuka pintu Dar-oel Islam dan Dar-oes-Salam, tempat keselamatan dunia dan akhirat?
Percayakah kita, dengan tiada was-was dan sjak sedikitpun juga, bahwa Allah swt, akan mencukupi segenap janji-Nya (Wa’ad dan wa’id), jika kita suka berpegangan teguh dan kuat akan “janji-janji kita kepada Allah” sejak di ‘alam arwah hingga kini?
Kemudian daripada itu, jika kita telah tahu dan mengerti, sadar dan insyaf, yakin dan percaya, bahwa nasib Umat Islam terletak di tanganya Umat Islam sendiri, Insya Allah hati kita akan dilapangkan, dan ‘amal kita akan diluaskan oleh Allah, bagi mensesuaikan diri dengan tuntutan masa dan kehendak zaman, sehingga tumbuhlah Ummat Baru, Ummat Wasath, Ummat yang terpilih, Umat yang sanggup bekerja bagi keselamatan dunia, terutama lingkungan Keluarga Asia Timoer Raya.
Insya Allah, pertegas dan penjelasan dalam hal ini, akan dihidangkan dalam “Soeara Miai” yang lagi akan terbit.
Mudah-mudahan usaha suci yang sebaik itu disertai kurnia dan perkenan Ilahy, hingga manfaat dan mashlahat yang boleh tumbuh daripadanya, meresap dan meliputilah hendaknya segenap Umat Islam dan seluruh tubuhnya Keluarga Besar, Asia Timoer Raya, jua adanya.
Amin.

Senin, 04 Maret 2013

Bagaimana Jika Kita Hidup Tanpa Negara (2)


          
  Dari tulisan yang pertama telah disinggung bahwa negara itu ialah suatu Kesatuan yang dibuktikan dengan adanya rakyat, wilayah dan hukum. Serta memiliki ideology yang dianut oleh rakyatnya. Maka perbedaan ideology yang dianut menyebabkan perbedaan bentuk negara yang tercipta. Lalu negara terbentuk karena adanya suatu kesatuan diantara rakyatnya, berupa kesatuan wilayah dan kesatuan hukum yang dibentuk oleh ideologi yang telah disepakati bersama.
            Lalu ada elemen penting dari sebuah negara? Yaitu kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan yang tertinggi dari sebuah negara. Artinya seluruh rakyat harus kepada patuh kepada kedaulatan itu.
            Lalu darimana kedaulatan tercipta dan apa dampak kedaulatan bagi rakyat? Kita ambil tiga contoh kedaulatan. Pertama kedaulatan rakyat yang disebut demokrasi. Demokrasi ialah kekuasan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa rakyatlah yang melahirkan negara. Karena negara berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi ialah suatu system pemerintahan yang dilahirkan oleh seorang filusuf Yunani, Aristoteles. Dan saat ini, dipakai oleh banyak negara di dunia,termasuk di Indonesia, karena dianggap system yang paling adil karena dengan system demokrasi maka setiap rakyat punya hak dan status yang sama dalam negara dan rakyatlah yang menentukan hendak dibawa kemana negara itu. kemudian yang kedua ialah kerajaan.  penguasa tertinggi dipegang oleh seorang raja. Dan sang rajalah yang menentukan hendak bagaimana dan dibawa kemana kerajaannya itu. maka segala hukum, peraturan, dan ideology diciptakan oleh sang raja, dan segenap rakyat yang berada pada wilayah kekuasaanya harus tunduk pada peraturan yang diciptakan sang raja itu. dalam konteks itulah dapat disebut Negara yang melahirkan rakyat. Umumnya bentuk negara seperti ini menjadikan militer atau angkatan perang sebagai symbol dan kekuatan kerajaannya, karena system negara seperti ini rawan mendapatkan pemberontakan dari rakyatnya sendiri. Dan umumnya,sang raja memiliki kekuasaan penuh, maka kedaulatan mutlak berada di tangan seorang raja. Kerajaan Mesir dan Kerajaan Babilonia tercatat dalam sejarah menganut kedaulatan ini.
            Dan yang ke tiga ialah Kekuasaan Tuhan. Bentuk negara seperti ini menjadikan tuhan sebagai peletak hukum dan peletak ideologi. Dan tuhanlah yang memiliki kekuasaan penuh melalui wahyu yang disampaikan oleh seorang nabi. Beberapa kerajaan jaman dahulu tercatat menganut kedaulatan ini, seperti Kerajaan Romawi di eropa dan Kerajan Islam di timur tengah. Artinya seorang penguasa tertinggi dalam negara tersebut hanya sebagai pelaksana dari aturan aturan dan hukum yang ditentukan oleh tuhan.
            Itulah selintas pemahaman tentang kedaulatan.
Maka, jika suatu rakyat dalam suatu wilayah, sepakat untuk bersatu dan menetapkan suatu ideology atau pandangan hidupnya dan dari situ mereka membentuk suatu hukum yang didasarkan akan suatu kedaulatan yang disepakati, maka kesatuan rakyat itu dinamakan Negara.
Dari uraian diatas, kita dapat menyimpulkan bagaimana posisi negara dalam kehidupan manusia. Maka dari masa ke masa rakyat selalu melahirkan negara, terlepas dari apa bentuk negara tersebut, dan apa kedaulatan negara yang dianut.
Lalu Bagaimana Jika Kita Hidup Tanpa Negara? Dapatkah kita membayangkan jika kita hidup tanpa negara? Kita bisa hidup tanpa negara, tapi akan terjadi kekacauan di mana mana. Jadi, Hidup dalam suatu wadah kenegaraan adalah wajib bagi seorang manusia, dinegara manapun dia berada dan apapun bentuk kedaulatan yang dianut, karena dengan bernegara, maka dia mempunyai suatu jaminan akan kehidupannya. Dan hal itu akan memuaskan hasrat naluriahnya sebagai seorang manusia.
Dan kewajiban kita saat ini,ialah menyadari hal tersebut. Karena bernegara itu penting, bernegara sama dengan berperan aktif dalam menjaga dan menciptakan kehidupan untuk dirinya, dan kehidupan orang banyak. Menjaga keselamatan hidup, menciptakan kehidupan yang aman dan bahagia. Itulah inti dari bernegara.
Lalu bagaimana jika suatu negara sudah tidak mampu menciptakan keamanan dan kebahagiaan bagi rakyatnya?
Saya berani berkata, karena sesungguhnya rakyatlah yang melahirkan negara, maka rakyat berhak untuk melakukan pemberontakan terhadap negara dan menciptakan suatu negara yang baru. Meskipun hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan keberanian yang besar. Tetapi, jika negara itu mampu menciptakan keamanan dan kebahagiaan, maka rakyatpun tidak boleh memberontak. Dan pasti rakyat tidak akan memberontak, toh apa yang dia butuhkan telah didapatkannya.
Dan pemberontakan yang dilakukan membutuhkan dukungan yang besar dari rakyat, rakyat harus membangun suatu kekuatan yang sangat besar untuk menggulingkan pemerintahan, ataupun melepaskan diri dari dari pemerintahan dan mendirikan kekuasaan yang baru.
 Wallahu a’lam bi showwab

Sabtu, 02 Maret 2013

Bagaimana Jika Kita Hidup Tanpa Negara? (1)



Membahas tentang kehidupan bernegara memang mengasyikan, karena seringkali kita merasa lepas dari kehidupan negara seperti sibuk bekerja atau belajar sehingga lupa pada kesadaran keberadaan  kita dan timbul sikap apatis terhadap negara padahal sebenarnya kita adalah bagian dari negara itu. Maka jika kita merenungi lebih dalam maka kita akan menyadari hakikat bernegara dalam kehidupan kita sebagai manusia biasa maupun dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim yang taat. Orang tua kita, Al Mukarram Al Ustadz Shiddieq Amien Allahu Yarham pernah mengutip suatu hadits dalam tulisan beliau yang berbunyi :
“Ajaran Islam itu akan lenyap dari tangan kaum muslimin satu persatu. Setiap kali satu ajaran hilang, maka akan diikuti dengan lenyapnya bagian dari ajaran islam yang lainnya. Ajaran yang akan pertama lenyap adalah masalah pemerintahan, dan yang terakhir lenyap adalah ajaran tentang shalat” (HR. Ahmad)
 Disini saya tidak akan banyak memuat fakta baik informasi tentang penyelenggaraan Negara ataupun mengulas kembali sejarah bangsa ini, tetapi saya hendak mengajak pembaca untuk membayangkan bagaimana jika kita hidup tanpa negara? Apakah kita masih bisa berharap hidup damai? Terlebih di zaman sekarang ini? Maka kita akan sampai pada kesimpulan yang sesungguhnya.
Untuk membayangkan lebih jauh lagi, sekarang mari kita kupas kembali pemahaman tentang negara yang pernah kita ketahui dari bangku sekolah. apa itu negara, fungsi negara, dan tujuan negara. Cukup dari ketiga elemen itu saja, maka kita akan sampai kepada bayangan apa yang terjadi jika kita hidup tanpa negara?
Dan kita mengarti bahwa negara itu ialah suatu sistem atau bentuk kekuasaan yang dibuktikan dengan adanya rakyat, wilayah, dan hukum. Artinya, negara itu hanyalah suatau nama dari suatu kesatuan hukum, suatu kesatuan wilayah, dan suatu kesatuan pemerintahan yang didasarkan pada suatu prinsip yang lazim disebut ideologi.
            Salah satu unsur dari negara ialah rakyat, rakyat itu ialah kumpulan manusia yang mendiami dan menetap pada suatu wilayah dalam waktu yang lama, misalnya, kumpulan manusia yang tinggal di Madura maka mereka dinamakan rakyat Madura, kumpulan manusia yang tingal di Aceh mereka dinamakan rakyat Aceh, dan kumpulan rakyat yang tingal di jawa mereka dinamakan rakyat jawa. Maka rakyat merupakan unsur adanya negara, artinya negara tidak akan ada  jika tidak ada rakyat, maka negara membutuhkan rakyat. Lalu timbul pertanyaan, apakah negara yang melahikan rakyat  atau rakyat yang melahirkan negara? Pertanyaan ini akan kita bahas lebih lanjut.
Unsur kedua dari negara ialah wilayah, rakyat yang mendiami suatu tempat itu tentu berada pada suatu wilayah, misalnya tadi, kenapa kumpulan orang di Madura disebut rakyat Madura, karena mereka tinggal di Pulau Madura. pulau Madura merupakan suatau wilayah tempat tinggal. Orang yang lahir di Madura, tumbuh besar di Madura, bekerja di Madura, dan Menikah dengan orang Madura maka kehidupan mereka berada diatas wilayah tanah Madura.
Namun kumpulan manusia di Madura itu belum bisa disebut Negara Madura jika mereka belum memiliki system hukum. Atau seperangkat peraturan kehidupan yang telah disepakati untuk mengatur rakyat Madura dalam kehidupan kesehariannya. Nah maka rakyat Madura, dapat dikatan menjadi sebuah negara jika mereka mempunya suatu peraturan atau hukum. Namun sebelum mereka bisa menciptakan hukum, mereka harus sudah menetapkan satu pandangan hidup berupa ideologi sebagai  sumber nilai dalam masyarakatnya.
Nah semoga penjelasan sederhana diatas dapat dimengerti oleh para pembaca mengenai pembahasan awal dari bayangan yang akan kita ciptakan, yaitu bagaimana jika kita hidup tanpa negara.
Lalu kita menginjak kepada tahap yang lebih maju, yaitu mengapa manusia mesti bernegara? Apa fungsi negara serta untuk apa negara diciptakan? Sudah dijelaskan diatas, bahwa negara itu hanyalah satu kesatuan artinya negara hanyalah benda mati yang diciptakan oleh rakyat atau masyarakat.
Kita sudah tau, bahwa negara ada karena adanya rakyat yang mendiami suatu wilayah, dan rakyat tersebut memiliki suatu hukum atau peraturan yang didasarkan pada suatu prinsip pandangan hidup mereka. Nah karena sebelum negara tercipta itu harus ada hukum dan sebelum ada hukum itu harus ada ideologi atau pandangan hidup dan pandangan hidup setiap orang itu berbeda beda, maka perbedaan perbedaan pandangan hidup atau ideology tersebut  membagi bagi Negara kedalam beberapa bentuk. Rakyat yang menganut nilai nilai kerajaan maka akan menciptakan suatu hukum yang berbentuk kerajaan dan dinamakan Negara Kerajaan. Rakyat  yang menganut nilai nilai persatuan maka akan menciptakan suatu hukum yang berbentuk kebangsaan atau kesatuan dan dinamakan Negara Bangsa. Dan rakyat yang menganut nilai nilai keagamaan maka akan menciptakan suatu hukum yang berbentuk agama  dinamakan Negara Agama.
Itulah beberapa bentuk dari negara, sekarang kita berbicara tentang fungsi dan tujuan negara. Ketika kita berbicara tentang fungsi negara maka kita juga akan membicarakan tentang kebutuhan rakyat didalamnya. ketika negara sudah berfungsi dengan baik maka tujuan negarapun akan dicapai  Artinya jika suatu negara sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya, maka negara itu tidak berfungsi. Karena rakyatlah negara ada, maka sudah seharusnya negara bekerja untuk rakyat dengan berfungsi sebagai suatu wadah yang melayani dan menciptakan keamanan, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi rakyatnya, itulah fungsi negara yang pokok. Jika fungsi fungsi tersebut telah dirasakan maka tujuan dari negara akan segera dicapai. Dan jika fungsi fungsi negara tidak berjalan maka tujuan dari negara itu tidak akan pernah tercapai.
Dan dalam suatu negara kita akan menemukan seorang Pemimpin tertinggi yang dipercayai dan diangkat oleh seluruh rakyat. Nah model dan cara pemimpin tersebut dalam memimpin rakyat itu serta kekuasaan bagaimana yang dimiliki olehnya  berbeda beda tergantung bentuk negara yang dipimpinnya.
Lalu ada satu hal lagi yang belum kita singgung, yaitu Kedaulatan Negara. Apa itu kedaulatan negara? Kedaulatan negara itu ialah kekuatan tertinggi dari sebuah negara yang melebihi ideologi. Artinya kedaulatan dalam sebuah negara itu menempati posisi yang sangat penting dari sebuah negara? Dan bentuk Kedaulatan negara pun akan membedakan apakah dalam suatu Kesatuan itu Rakyat yang melahirkan Negara atau Negara yang Melahirkan rakyat? Ini pulalah yang kerap diperdebatkan oleh kalangan muslim yang akrab dipanggil kaum islam ekstrimis yang menolak kedaulatan selain kedaulatan Allah SWT. Pembahasan ini insya Allah akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
Wallahu a’lam bi shawwab

Menulis, menulis, dan menulislah!


Menulis, ialah cara seseorang untuk mengungkapkan fikirannya kepada dunia. Dengan rangkaian kata demi kata yang membentuk baris kalimat, terdapat buah fikir yang mengandung banyak makna. Itulah kecerdasan manusia, yang membedakannya dengan mahluk ciptaan tuhan yang lain. Dimana manusia dianugerahi kemampuan berfikir dan berbahasa, sehingga  dengan bahasanya tersebut, tidak hanya digunakan untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk dapat mempengaruhi manusia yang lain, dan anugerah tersebut tidak diberikan oleh Allah SWT kepada mahluknya yang lain, hanya Dia berikan kepada mahluk manusia, alangkah beruntungnya manusia itu!
Dan menulis, ialah salah satu cara manusia dalam berbahasa, apalagi di jaman sekarang, jaman serba teknologi, jaman serba cangih, jaman serba mudah. Alangkah bijaknya jika manusia menggunakan teknologi itu untuk kesejahteraan hidupnya, alangkah bijaknya jika manusia menggunakan teknologi itu untuk memberikan suatu pengaruh yang baik, alangkah bijaknya jika manusia itu menjadi pengendali dari kemajuan teknologi bukan dikendalikan, dan alangkah bijaknya manusia itu, jika dia bisa memanfaatkan teknologi sejalan dengan kepentingannya dan kepentingan hidupnya. Kepentingan yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, Kepentingan dalam Kemanfaatan, Kepentingan dalam Kesejahteraan, Kepentingan dalam kehidupan, dan Kepentingan dalam Ibadah!
Ya, dijaman yang serba informasi ini,kita punya kesempatan untuk sama sama ikut berpartisipasi kedalam lautan pemikiran melalui tulisan tulisan yang kita buat. Jadi menulis, menulis, dan menulislah!